Hukum KPST

Salah satu hal yang sering membingungkan dalam bahasa Indonesia adalah peluluhan fonem dalam pembentukan kata berimbuhan meng- dan peng-. Mana yang benar: mengkritik atau mengritik? memesona atau mempesona? mensyaratkan atau menyaratkan? mentraktir atau menraktir? penahapan atau pentahapan? pemroses atau pemproses? Cara termudah untuk mengetahui mana yang benar adalah dengan membuka KBBI. Tentu saja cara ini tidak praktis karena tidak setiap saat rujukan itu tersedia meskipun versi daringnya sudah ada.

Walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa bahasa bukan ilmu pasti, ada pola-pola tertentu dari suatu aturan bahasa. Pemahaman tentang pola yang berlaku pada peluluhan fonem akan memudahkan orang untuk menentukan mana bentuk kata berimbuhan yang tepat. Dari hasil membaca beberapa literatur, menyelisik entri rambang terkait dalam kamus, serta masukan dari Bu Junaiyah H.M. dan Mas Imam J.P., saya mencoba menyimpulkan aturan peluluhan fonem pada pembentukan kata berimbuhan meng- dan peng- sebagai berikut.

  1. Huruf pertama kata dasar berawalan k, p, s, dan t yang diikuti oleh vokal akan luluh jika mendapat awalan meng- atau peng-. Contoh: mengenai (kata dasar: kena), memukul (kata dasar: pukul), menyalin (kata dasar: salin), dan menari (kata dasar: tari).
  2. Huruf pertama kata dasar berawalan p yang diikuti oleh konsonan tetap akan luluh jika mendapat awalan peng-. Contoh: pemroses (kata dasar: proses), pemrogram (kata dasar: program), dan pemrotes (kata dasar: protes).
  3. Pengecualian diterapkan untuk dua bentuk: mempunyai dan mengkaji. Mempunyai, alih-alih memunyai, dianggap lebih berterima dan mudah diucapkan oleh pengguna bahasa Indonesia. Mengkaji (mempelajari, menyelidiki, dsb.) dibakukan untuk membedakan dengan mengaji yang memiliki makna lain (membaca atau mempelajari Alquran).

Proses peluluhan fonem ini, yang bisa disebut Hukum KPST, bertujuan untuk memudahkan artikulasi atau pengucapan kata.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan atau diwaspadai dalam penerapan aturan ini.

  1. Perhatikan huruf kedua kata dasar. Aturan peluluhan hanya berlaku jika huruf kedua adalah vokal, bukan konsonan. Misalnya, pukul menjadi memukul (luluh), tapi kristal menjadi mengkristal (tidak luluh).
  2. Waspadai pengimbuhan bertingkat yang tidak mengalami peluluhan. Misalnya, memperhatikan, bukan memerhatikan karena terjadi pengimbuhan bertingkat: meng- dan per-.
  3. Perhatikan kata dasar yang berasal dari serapan bahasa asing. Dulu ada anggapan bahwa kata pungutan tidak perlu mengikuti aturan peluluhan karena bentuknya belum mantap. Lambat laun bentuk tersebut pasti harus mengikuti kaidah, jadi lebih baik sejak awal terapkan saja kaidah tersebut. Misalnya, memopulerkan (bukan mempopulerkan) dan mengoordinasikan (bukan mengkoordinasikan).

Tentang pengecualian terhadap bentuk mempunyai dan mengkaji, saya memiliki pendapat sendiri.

  1. Mempunyai (dianggap) lebih berterima karena sosialisasi memunyai yang kurang. Mengapa tidak kita biasakan saja menggunakan kata memunyai? Toh bentuk itu yang sesuai dengan pola.
  2. Mengkaji dibakukan untuk membedakan makna dengan mengaji. Padahal, homonimi (satu kata memiliki makna lebih dari satu) bukan sesuatu yang haram dalam bahasa Indonesia. Mengapa tidak diterima saja bahwa bentuk mengaji punya dua makna? Atau, biasakan saja menggunakan mendaras untuk makna belajar atau membaca Alquran.

Semakin banyak penjelasan logis dan pola yang diterapkan secara taat asas dalam bahasa Indonesia, niscaya semakin besar modal bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional. Bukan tidak mungkin.

Sambil lalu, bentuk baku dari pasangan kata berimbuhan pada paragraf pembuka di atas adalah bentuk pertamanya.

Catatan #1: Memperhatikan vs memerhatikan. Lema perhati dengan turunan memerhatikan ditemukan di Malay Concordance Project dan KBBI III. Di KBBI IV lema ini diarahkan ke hati dengan bentuk turunan memperhatikan. Perdebatan mengenai hal ini cukup sengit, tapi saya cukup sreg dengan pilihan KBBI IV dan memutuskan untuk tidak memperdebatkan lagi hal ini.

49 tanggapan untuk “Hukum KPST

  1. Menarik. Bermanfaat. Jangan menyerah. Memang, mesin penerjemah (bukan penterjemah) terus diperbaiki, tetapi tetap berlandaskan kepada bahasa Indonesia “yang dipahami orang asing” 😀

  2. Bagaimana dengan ‘mengubah’. Mengapa kata dasar ‘ubah’ mendapatkan imbunhan meng- dan bukan me-?
    Masih banyak yang memakai ‘merubah’ dibandingkan ‘mengubah’ karena tidak mengerti aturan peluluhan tersebut.

    1. awalan me- kalau digabungkan dgn kata dasar yg huruf awalnya huruf vokal akan menjadi meng-
      Kenapa masih banyak yg menggunakan merubah? Karena mungkin terpengaruh dgn kata ‘berubah’ yg sebenarnya adalah gabungan dari ber- ubah

  3. Harusnya aturan-aturan semacam itu ditetapkan secara nasional oleh sebuah lembaga resmi dan diumumkan secara berkala, bukan sekadar hasil diskusi/pemikiran sejumlah orang atau komunitas saja.

    1. Aneh, kok masuk spam ya komentar Om Benny ini. Maaf ya, baru sadar hari ini.

      Setuju. Sosialisasi itu yang kurang di kita. Mudah-mudahan nanti bisa diatur, dan yang penting dilaksanakan, dengan adanya UU 24/2009.

    1. Trims, Benny. Markahnya MediaWiki sekali, hehe. Saya sunting sedikit tautannya, ya.

      Agar tak mengundang pertanyaan lanjutan, dari daftar di atas, yang baku adalah:

      * memedulikan (kata dasar peduli, p luluh)
      * memengaruhi (kata dasar pengaruh, p luluh)
      * mempelajari (kata dasar ajar, ditambah pe > pelajar, p tidak luluh)

  4. saya setuju dengan pernyataan anda mengenai bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa Internasional, kita sudah mempunyai modal sebagai penduduk terbesar ke 3 di dunia, sangat disayangkan jika kita tidak bisa meng globalkan bahasa kita

  5. Sependek yang saya ketahui, “perhati” masih menjadi lema di KBBI. Artinya proses peluruhan yang betul “memerhatikan” 🙂 karena tidak ada pengimbuhan bertingkat.

    per·ha·ti, ber·per·ha·ti·an v: mempunyai perhatian; menaruh minat;

    me·mer·ha·ti·kan v 1: melihat lama dan teliti; mengamati; menilik: Simon ~ segala tingkah laku abangnya; 2 merisaukan; mengindahkan;

    per·ha·ti·an n hal memperhatikan; apa yg diperhatikan; minat;

    pe·mer·ha·ti n orang yg memperhatikan; peminat; pengamat

    Sumber KBBI Daring.

    1. Ya, Mas. Maaf belum sempat terlalu banyak diganti. Prosesnya manual soalnya. Sayang Pusba tidak (belum) mau memberikan akses KBBI IV kepada publik.

  6. 1. Pada prinsipnya kata dasar dengan huruf k, t, s, p mendapat awalan me- atau pe- (jadi bukan meng- atau peng-) akan luluh. contoh: kirim (mengirim, pengirim), tulis (menulis, penulis), sapu (menyapu, penyapu), pukul (memukul, pemukul).
    2. Bila kata dasar dengan huruf di atas terdiri dari dua konsonan, maka kata dasar tidak luluh. Contoh:[kr]itik –(mengkritik), [pr]oduksi –(menproduksi)
    3. Memunyai atau mempunyai, yang benar adalah memunyai (luluh), kata dasarnya adalah punya. Hal berbeda terjadi pada kata memperhatikan (bukan memerhatikan) sebab kata dasarnya hati bukan perhati dan mendapat awalan memper-
    4. Saya berharap kita tidak terjebak pada alasan kelumrahan, agar yang salah kaprah tidak menjadi kebenaran.

  7. Sebenarnya kalau rekan-rekan mempunyai buku lama STA Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia, masalah awalan ini sudah tuntas; khusus untuk awalan me- STA telah membuat tabel persengauan baik itu untuk kata asli Indonesia maupun kata serapan dengan suku awal berkosonan rangkap (hlm. 27-30). Mungkin masih ada di Kwitang.

  8. Inilah sulitnya bahasa yang tidak punya referensi baku berupa “teks standar” maupun “tokoh panutan”. Kaedah-kaedah baru dimunculkan, meskipun sampai saat ini sebagian konsekwensinya sama sekali tidak diterapkan maupun digunakan oleh sang pemilik bahasa (masyarakat).

  9. Saya suka semangat “jangan menyerah” pada komen di atas. Walaupun saya mendapat nilai buruk semasa kuliah untuk Bahasa Indonesia, sampai saat ini saya tetap berusaha untuk terus belajar. *follow uda Lanin*

  10. Terimakasih. Sangat berguna untuk bahan debat dengan dosen pembimbing saya yang menyuruh saya mengganti kata “mengoordinasikan” yang saya cantumkan dalam judul thesis, dengan kata “mengkoordinasikan”.

  11. Ada yang kurang saya mengerti. Pada kasus me-, KPST tidak luluh jika diikuti konsonan (mis: mengkritik, memproses, mentraktir). Lantas, mengapa pada kasus pe-, KPST justru luluh jika diikuti konsonan? (mis: pengritik-bukan pengkritik, pemroses-bukan pemproses, penraktir-bukan pentraktir). Padahal, saya rasa konteks kaidahnya selevel, yaitu peluluhan KTSP. Ada yang bisa membantu saya memberi penjelasan?

  12. Saya sangat berterima kasih atas penjelasan di atas. Tetapi sering kali selalu ada saja “pengecualian” yang terlalu banyak, sehingga mana yang sebenarnya dan sebaiknya diterapkan. Hukum KPST saya sudah mengenal sejak sekolah dasar di tahun 60 an. Satu hal yang ingin saya tanyakan, ketika ejaan baru diluncurkan kata “C” berasal dari “Tj”. Apakah imbuhan tersebut mengikuti hukum KPST ataukah tidak? kalau mengikuti hukum KPST berarti harus ditambah hukum “KPSTC”
    Terima kasih, marilah kita berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Salam, Hari Waskito, anggota Tim Peyusunan Kamus istilah Migas.

  13. Wah, maaf baru sempat membalas.

    @Haqi: Yang luluh hanya yang diawali “p”, misalnya pemroses. Alasannya — maaf saya lupa di buku mana saya pernah baca ini — adalah untuk memperlancar pelafalan karena huruf “p” yang berdekatan sulit dituturkan. Pengkritik dan pentraktir diperlakukan sama dengan mengkritik dan mentraktir: tidak luluh.

    @Hari: Terima kasih sudah berkenan berkomentar, Pak. Setahu saya, hukum KPST dilatari oleh pelafalan, bukan penulisan. Jadi, perubahan cara representasi fonem “c” tidak mengubah kaidahnya pelafalannya: c tidak luluh. Cuci > mencuci; suci > menyuci(kan).

  14. Hmmm.
    Terima kasih, Mas. Untuk penjelasannya yang “mengkritik” itu. Di soal ujian kemarin, ada soal seperti itu. Saya kira ada proses peluruhan. Ternyata 😀

  15. Jadi, karena pengecualian itu, kata ‘mempunyai’ menjadi kata yang lebih tepat dibanding ‘memunyai’?

    Dan lalu, soal ‘memerhatikan’, apa mulai sekarang sebaiknya kembali ditulis ‘memperhatikan’?

    Mohon penjelasannya. Terima kasih.

  16. kata punya bila dilihat dari etimologinya adalah mpu..lalu ada bentukan mpunya kemudian dilekatkan dengan imbuhan me- menjadi me-mpunyai…kemudian berubah menjadi mempunyai yang akhirnya banyak yang menganggap kaata dasarnya punya…akhirnya sekarang menjadi punya yang sering kira gunakan…ketika mendapat imbuhan me- tetap memakai bentukan lama

  17. Terima kasih banyak Mas Ivan. Terus terang karena pekerjaan saya di kantor yang memerlukan banyak penulisan surat formal, kaidah baku ini sangat saya perlukan. Salah satu yang saya baru ketahui adalah kata “mengoordinasikan”, karena sampai saat ini, saya selalu menggunakan kata “mengkoordinasikan”. Apakah ini sudah menjadi kaidah baku atau masih sekedar wacana dari Mas Ivan?

    Tentunya saya selalu mendambakan bahasa Indonesia memiliki aturan yang sama jelasnya dengan bahasa Inggris, sehingga menjadi bahasa yang mudah dipahami dan dipelajari.

    Sekali lagi, terima kasih banyak Mas.

  18. Kaidah KPST tak jarang menimbulkan kasus bahasa. Salah satu kasus yang diperdebatkan oleh pemakai bahasa adalah mempunyai dan memunyai. Baik pengguna mempunyai dan memunyai memiliki argumen masing-masing.

    Pengguna mempunyai (termasuk KBBI) beralasan kata punya asalnya dari empunya, diberi me- menjadi meempunyai, lalu menjadi mempunyai. Ada juga yang berkata anggap saja mempunyai adalah pengecualian karena kebiasaan sejak dahulu dan akan janggal diucapkan memunyai.

    Pengguna memunyai tak setuju dengan alasan pengguna mempunyai bahwa asal kata punya dari empunya karena jika memang berasal dari empunya, seharusnya meN- berubah menjadi meng- jika bertemu vokal sehingga menjadi mengempunyai. Pengguna memunyai juga tidak setuju jika alasannya karena janggal diucapkan.

    Kedua alasan di atas masuk akal tetapi kita harus mencari jalan tengah. Adakah kata yang bila diberi imbuhan meN- atau peN- dapat luluh sekaligus tidak luluh? Ada! Kata “kaji” bisa luluh, bisa juga tidak luluh. Jika diberi imbuhan meN- menjadi mengaji dan mengkaji. Hal ini disebabkan karena makna mengaji berbeda dengan mengkaji. Mengaji identik dengan membaca Alquran, sedangkan mengkaji maknanya meneliti.

    Kata yang lain (yang tidak berawalan fonem KPST) adalah candu. Kata candu dapat diberi imbuhan peN- (menjadi pencandu), atau pe- (menjadi pecandu).

    Apa jalan tengahnya? Saya menyarankan untuk KBBI edisi selanjutnya memuat mempunyai dan memunyai sekaligus. Memuat memunyai akan lebih menghargai pendapat pengguna memunyai sehingga tidak “pilih kasih”. Adapun entrinya (diturunkan dari kata punya) sebagai berikut:

    mem.pu.nyai v memiliki; menaruh: perguruan itu akan ~ lima buah fakultas;
    me.mu.nyai v mempunyai

    Demikian saran saya untuk KBBI. Semoga saran saya ini dapat dipertimbangkan oleh para ahli bahasa.

    Catatan:
    Sebaiknya kita saling menghargai pendapat. Yang berpendapat memunyai hargailah pendapat mempunyai, begitu juga sebaliknya.

    Salinan dr blog saya
    by pelajar SMP

  19. Kalau sosialisasi jadi mensosialisasikan atau menyosialisasikan? kalau supervisi juga bagaimana? Terima kasih…

  20. Menarik… (pertama kali saya ‘nimbrung’ dalam tulisan Pak Ivan Lanin..:)
    Bagaimana pendapatnya tentang ini: “Silakan meng-copy file-nya!”, “Aku mau nge-save juga… biar bisa dibuka ato di-print kapan-kapan.”
    Tak bisa menyalahkan yang berbahasa seperti ini. Kalau diganti ‘menyalin’ atau ‘mencetak’… tidak/belum banyak yang paham.

Tinggalkan komentar