Pun

pun yang disambung

Salah satu hal yang paling membuat saya frustrasi dari bahasa Indonesia adalah ketiadaan pola kata mana yang ditulis serangkai dengan partikel pun. Seperti kita ketahui, partikel ini memiliki beberapa makna, a.l. juga (mis. saya pun pergi), meski (mis. mahal pun akan kubeli), dan saja (mis. berdiri pun tidak dapat). Pedoman EyD terbaru (2009) menyatakan bahwa:

partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya, kecuali pada gabungan yang lazim dianggap padu yang ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.

Masalahnya, pedoman ini hanya memberikan lima contoh kata yang lazim dianggap padu (adapun, bagaimanapun, maupun, sekalipun, dan walaupun). Pedoman EyD sebelumnya (1987) memberikan lebih banyak contoh kata yang ditulis serangkai dengan pun, yaitu adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, dan walaupun. Saya kurang paham mengapa pedoman yang lebih baru malah mengurangi contoh dan memperbesar ketidakpastian kaidah penulisan pun ini.

Bahasa memang arbitrer. Namun, semakin banyak pola yang bisa dikenali dari suatu bahasa, semakin mudah pula bahasa tersebut untuk dipelajari. Pengguna bahasa sekarang pun tidak bisa hanya sekadar menerima suatu “kaidah bahasa” tanpa paham alasan atau, paling tidak, pola dari kaidah tersebut. Ada yang bisa membantu mencari pola kata mana yang ditulis serangkai dengan pun agar kita tidak perlu “menghafal bodoh” seperti yang sekarang saya lakukan?

16 tanggapan untuk “Pun

      1. Saya pakai Windows Live Writer yang ada ejaan bahasa Indonesianya Paman Tyo. Karena saya dari sekolah memiliki kebiasaan menyambungkan kata/partikel “pun” pada setiap kata yang mendahuluinya, maka baru saat menggunakan Windows Live Writer saya paham tidak semua kata/partikel “pun” itu tersambung.

  1. Saya kadang tak konsisten dalam ber-pun. Ada yang “itu pun” (misalnya “barang itu pun sudah raib”) dan ada pula “itupun” sebagai temannya “adapun” (misalnya “teman saya Ivan akhirnya membeli baju; itupun setelah saya paksa”.

    Kadang saya juga menggunakan “pun” dalam gaya lama. Misalnya: “Saya bukan pelawak, pun bukan badut.”

  2. Saya termasuk salah satu orang yang sering ragu dengan penulisan ‘pun’ ini. Karena ragu, akhirnya sedapat mungkin saya berusaha menghindari penggunaannya kecuali terpaksa. Anak saya beberapa kali menanyakan masalah ‘pun’ ini, dan saya tidak bisa menjawab dengan lugas. 😦 *menunggu pola yang pasti*

      1. Makasih jawabannya, Mas. Sekarang ini saya jadi rajin baca-baca rubrik Bahasa Indonesia (BI), karena sering dikejar pertanyaan-pertanyaan oleh anak seputaran BI. Merasa agak malu kalau tidak bisa jawab. 🙂 Ternyata diam-diam dia pemerhati dan pencinta BI, bahkan punya grup di FB yang anggotanya anak-anak muda, yang khusus membicarakan BI. *Duh, malah curhat*

  3. Saya lebih sering menggunakan yg dipisahkan, tapi untuk kata-kata seperti walaupun itu memang sering agak ragu antara menggabungkan atau memisahkannya

  4. maaf, ini agak panjang. tapi ini mungkin bisa membantu mencari pola kata yang mesti dipisah atau dirangkai dengan “pun”.
    ——————————————-

    Pun

    Sumber: Moh. Sidik Nugraha

    Sekalipun terlibat dalam kasus korupsi kuota impor daging sapi, tersangka mengakui belum pernah menunggangi binatang ternak itu sekali pun.

    Saya dan “pun” mirip dua tokoh dalam novel Last Tango in Paris, Paul dan Jeanne. Selama ini, kami intim berinteraksi, tetapi tidak benar-benar kenal. Namun, saya tidak ingin seperti tokoh lelaki dalam novel kontroversial itu. Lagi-lagi, saya teringat wejangan seorang dosen, “Kalau kamu naksir satu kata, usahakan seperti kamu naksir cewek. Cari tahu semua tentangnya.”

    Sebenarnya, sudah lama saya ingin mengenal “pun” secara lebih jauh. Ketertarikan saya terhadapnya, yang mungkin dialami juga oleh sesama pengguna bahasa Indonesia yang berusaha menaati kaidah, berawal dari kebingungan: “pun” yang ini disatukan atau dipisahkan dengan kata sebelumnya?

    Untuk menentukan apakah “pun” sebaiknya disatukan atau dipisahkan dengan kata yang mendahuluinya, saya harus mempertimbangkan apa fungsinya dalam kalimat. Sebagai partikel, “pun” sering digunakan untuk memberi penekanan atau menegaskan arti kata yang diikutinya. Dalam hal ini, “pun” bermakna sama dengan “saja”, “juga”, “segala”, dan “semua”. Untuk itu, menurut buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) terbitan tahun 1988 yang bersampul hijau dan lusuh, “pun” ditulis terpisah dari kata sebelumnya.

    Saya beruntung karena menemukan satu contoh dalam terjemahan novel The Dogs of War karya Frederick Forsyth. Begini bunyi satu kalimat yang membantu saya memahami kaidah dari TBBBI itu:

    Shannon sering iri pada kemampuan mereka tidur kapan pun, di mana pun, dan dalam keadaan bagai­mana pun.

    Sekadar untuk meyakinkan diri sendiri, saya mengganti “pun” dengan “saja”.

    Shannon sering iri pada kemampuan mereka tidur kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan bagaimana saja.

    Karena memiliki fungsi penegasan, saya pribadi cenderung menulis “pun” beriringan dengan kata yang dimaksudkan untuk diberi penekanan.

    Contoh:
    Karena tidak menyukai rayuan gombal, perempuan manis itu tidak membalas satu pun sms yang dikirimkan oleh si buaya darat.

    Alih-alih:
    Karena tidak menyukai rayuan gombal, perempuan manis itu tidak membalas satu sms pun yang dikirimkan oleh si buaya darat.

    Masih merujuk TBBBI, “pun” berfungsi juga sebagai partikel yang membentuk konjungsi. Dalam hal ini, penulisannya disatukan dengan kata sebelumnya, seperti “meskipun”, “walaupun”, “kendatipun”, “adapun”, “biarpun”, “sungguhpun”, dan “sekalipun”.

    Perhatian khusus perlu diberikan terhadap “sekalipun” dan “sekali pun”. Seperti pada contoh kalimat yang membuka tulisan ini, “sekalipun” berfungsi sebagai konjungsi yang menyatakan keadaan yang berlawanan dengan sesuatu yang dinyatakan dalam klausa utama. Adapun, “sekali pun” yang terdapat di akhir kalimat yang sama bermakna “satu kali pun”.

    Seperti “sekalipun” dan “sekali pun”, saya sering bimbang mengenai penulisan “bagaimanapun” dan “bagaimana pun”. Untuk kata yang dituliskan terakhir, saya kira contoh yang saya ambil dari The Dogs of War sudah cukup menjelaskan. Lalu, bagaimana dengan “bagaimanapun”?

    Saat membaca karya terjemahan dari bahasa Inggris, saya sering menemui penggunaan “bagaimanapun”. Kata ini diterjemahkan dari “however” dan kerap ditemui di awal kalimat. Menariknya, para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi mutakhir atau keempat tidak mencatumkan dan menjelaskannya, baik sebagai entri bentuk turunan “bagaimana” maupun lema tersendiri.

    Sah-sah saja menggunakan “bagaimanapun” sebagai konjungsi yang dianggap sepadan dengan “however” dalam bahasa Inggris. Agaknya, awal penggunaan kata ini mirip dengan “itulah mengapa” yang diterjemahkan dari “that’s why”. Belakangan, saya cenderung memilih kata hubung antarkalimat yang lebih terasa asli Indonesia, seperti “namun”, “akan tetapi”, “meskipun begitu”, atau “sungguhpun demikian”.

    Terakhir, bagi sebagian orang, “pun” memiliki kesan magis dan manis. Mungkin, salah satu orang itu bernama Soe Hok Gie yang menulis:

    Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.[]

    Sekadar berbagi,
    Moh. Sidik Nugraha

    1. Terima kasih atas pencerahan ini, Mas. Luar biasa bermanfaat! Dari dua belas “pun” yang disambung, delapan sudah dibahas oleh Mas Sidik. Empat sisanya–andaipun, ataupun, kalaupun, dan maupun–rasanya bisa dimasukkan sebagai konjungsi.

      1. Jika begitu, selain 12 kata di atas, apakah kata yang berunsur pun yang digunakan sebagai konjungsi juga ditulis serangkai, ya, Mas? Misal “jikapun”, “apabilapun”, dan “betapapun”.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s