Salah satu tekad saya di tahun 2010 adalah mengurangi penggunaan smiley dalam tulisan di twitter, surel, maupun media lainnya. Alasan utamanya adalah karena konon penggunaan smiley dapat memberi kesan kurang serius bagi orang-orang tertentu. Baru empat hari saja, sudah cukup banyak pelanggaran niat yang saya lakukan. Ternyata, smiley itu bagaikan bumbu penyedap bagi masakan. Tanpanya, tulisan terasa kurang lezat.
Smiley adalah perlambangan paras tersenyum manusia yang diwujudkan dalam bentuk bulatan kuning dengan dua titik yang melambangkan mata dan garis melengkung setengah lingkaran yang merepresentasikan mulut. Smiley selanjutnya mengalami perluasan makna menjadi istilah generik untuk segala jenis ikon emosi (emoticon).
Harvey Ball, seorang seniman grafis dari AS, mengklaim dirinya sebagai pencipta smiley pertama sewaktu menggarap proyek untuk sebuah perusahaan asuransi pada tahun 1963. Meskipun demikian, klaim ini memiliki banyak penentang.
Kata smiley tampaknya belum memiliki padanan yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia. Paling mudah mungkin melakukan penyesuaian pelafalan menjadi smaili. Namun, kalau mau merunut lebih jauh, smiley memiliki sinonim happy face atau “wajah (yang) gembira.” Dulu pernah cukup dikenal istilah mupeng dalam ragam percakapan yang merupakan akronim dari muka pengen dan kurang lebih bermakna wajah yang menunjukkan keinginan terhadap sesuatu.
Mungkin kita bisa menggunakan istilah munyum (muka tersenyum) untuk smiley? Tapi seseorang telah berujar, ah elo sih mana ngerti pemrograman™?
Peringatan: Tulisan ini jangan terlalu ditanggapi serius #tanpasmiley.
Wow, kalau jadi proyek jangka panjang, saya belum yakin bisa ikut. Tapi kalau sehari dua hari ini, rasanya memang saya sedang agak enggan tersenyum.
Baiklah, Mas. Tidak apa-apa. Saya juga tidak tahu bakal berapa lama tahan #tanpasmiley.
oom.. gimana kalo kita mau buat kesan sersan? serius-santai 😀
Boleh saja. Tapi tetap harus #tanpasmiley.
komen di blog jadi serasa aneh gini.
*serius dan gak pake smiley*
Kamu tampak pintar. Ini Deden?
Saya mungkin juga termasuk jarang memakai smiley, terutama dalam tulisan di blog. Entahlah, sepertinya lebih karena tidak ingin menambahkan karakter “aneh” saja dalam tulisan.
Baiklah, saya akan coba ikutan deh, mulai sekarang.
ahahai, ternyata smiley memang terkadang bisa membuat sebuah kata2 menjadi kurang berarti. tapi bukan berarti dengan smiley, sebuah kata menjadi lebih berarti, bukan?
saya juga masih sulit untuk mengurangi smiley 😛
aku jga masih sulit untuk mengurangi smiley kok
kalo nggak salah di wordpress ada cara utk menyetel aktif tidaknya smiley, ya? 😀 🙂 😦 😉
menurut saya smiley masih lebih patut kalo memang dalam kalimat ada sesuatu yang menarik atau lucu. tapi trend nya sekarangi di twitter, facebook ato sns yang lain setiap kalimat selalu diikuti kata-kata seperti “hehe, haha” padahal sebenernya tidak perlu.
saya pernah teliti ternyata karakter orang Indonesia memang ketawa2 sendiri. meskipun lawan bicara tidak tersenyum atau tertawa.
aq suka kok make smiley,apalagi di sms.kan biar lebih enak ngomong ama cewek.hehehe…
my_blog
hmm mesti belajar sama @aulia kaya’nya ..
*semogatuoranggakesini 😀 <- eh pake munyum juga
Munyun? Manyun iya kali! ROFL
Ngga ke sini? Halah, gue seminggu sekali ke sini. Nah lho! Btw akhirnya Ivan takluk juga, ninggalin komen di blog gue pake smiley 😀 hehehe *sekalianbiarlengkap*
Simbol atau gambar kecil seperti smiley memang hanya sekadar untuk menyemarakkan tulisan. ,Menurut saya, penggunaan simbol tersebut pada umumnya tergantung dari kesepakatan bersama dari semua pihak yang saling berhubungan melalui tulisan.
Waduh, ternyata pernyataan ini sangat menuai kontroversi ya. Insya allah saya tetap tabah #tanpasmiley.
bagaikan harus berpuasa tujuh hari tujuh malam tanpa makan minum :), ups masih pake smiley juga…
Saya tertarik menyaksikan reaksi para pengguna screen reader saat mendengar baris kalimat ber-emoticon.
ulasan ringan nan menarik….dengan munyum.