Mikroblog versus blog

Pembaca umpan Feedly saya semakin hari semakin sedikit menyiarkan tulisan baru dari blog Indonesia yang saya langgani. Kiriman entri blog baru dari Multiply pun semakin jarang masuk ke kotak surel. Di luar berita burung bahwa Enda nge-blog lagi, secara umum terlihat bahwa ledakan tulisan di blogosfer Indonesia mulai surut.

Di sisi lain, jumlah orang yang melakukan pemutakhiran status melalui jejaring sosial Facebook dan mikroblog (atau blog-mikro menurut Mas Amal) seperti TwitterPlurk, dan Koprol tampak semakin banyak. Mungkin karena lebih mudah untuk menulis dalam 140 karakter dibandingkan dengan menulis beberapa paragraf dalam blog. Interaksi di layanan jejaring sosial dan mikroblog ini pun lebih cepat dan intensif dibandingkan dengan komentar pada blog.

Apakah ini buruk? Wallahualam dan saya serahkan kepada masing-masing orang untuk menilai. Pertanyaan yang ingin saya bahas adalah:

Apakah mikroblog dan pemutakhiran status membuat orang jadi lebih malas menulis di blog “tradisional”?

Survei kecil-kecilan melalui Twitter dan Facebook membuktikan hal itu. Sebagian besar orang yang menjawab pertanyaan saya mengaku bahwa sedikit banyak produktivitas mereka dalam menulis blog berkurang dengan adanya mikroblog dan fitur pemutakhiran status di jejaring sosial.

Saya jadi teringat tulisan narastrategi daring Nukman Luthfie yang membahas tentang tangga teknografi sosial dari hasil riset Forrester Research. Ada tujuh “anak tangga” pada metafora tangga terhadap segmentasi pengguna internet menurut laporan ini: (1) pencipta, (2) narabincang, (3) kritikus, (4) kolektor, (5) penggembira, (6) penonton, dan (7) nonaktif.

Anak tangga kedua dari atas, narabincang (conversationalist), adalah anak tangga baru sejak konsep segmentasi ini diperkenalkan pada April 2007. Dalam waktu kurang dari tiga tahun, jumlah kelompok ini meningkat drastis, menggerus pangsa kelompok pencipta (creator).

Menurut saya, sebenarnya ini tak perlu terjadi. Pemutakhiran status dapat dimanfaatkan untuk menciptakan konten yang lebih kaya. Kearifan khalayak yang disalurkan melalui jawaban terhadap pemutakhiran status dapat diagregasikan menjadi suatu tulisan yang kaya dengan sedikit upaya. Seperti yang telah beberapa kali saya lihat dilakukan oleh Paman Tyo, salah seorang narablog yang saya kagumi produktivitas dan kualitas tulisannya.

Ayo manfaatkan kearifan khalayak dari teman-teman Anda menjadi konten yang lebih bermakna. Jangan lupa gunakan bahasa Indonesia yang benar dengan baik untuk terus mengasah keterampilan berbahasa Indonesia.

Pemutakhiran:

31 tanggapan untuk “Mikroblog versus blog

    1. Salah satu makna “modern”-kan terbaru atau mutakhir, Um. Nah, menurutku, mikroblog ini tren terbaru (yah, gak baru-baru amat sih) dari genre “blog”.

  1. saya jadi teringat om roy suryo yang pernah “nyeletuk” kalau blog hanya tren sesaat. mungkinkah ramalannya kini terbukti? *nyengir kuda*

  2. micro-blogging dengan blogging tradisional bisa disamakan tidak ya? soalnya kan sama-sama blogging.

    Dari sejarah blogging intinya seperti sebuah diary online, sebuah website yang diposting secara berkala dengan urutan terbaru di atas.

    Mungkin tren blogging yang berubah, dari sekedar macro menjadi mikro. Biasa, narsis lebih menyenangkan lewat facebook dan twitter ^^

  3. Ping-balik: Thomas Arie Setiawan
  4. Saya rasa, tulisan mas Ivan benar. Memang mikrobloging sedikit banyak membuat penyakit hiatus narablog semakin parah, atau malah berhenti sama sekali *lirik oom Priyadi.net*.

    Sedang untuk saya sendiri, mikroblogging adalah sebuah sarana yang baik untuk mencari bahan tulisan di blog saya nantinya (seperti yang mas Ivan lakukan ini). Selain itu, bisa sarana praktis untuk minutae diri dan penanda buku pribadi.

  5. Memang dalam microblogging lebih simple mengutarakan pendapat atau opini, jadi bagi yang sedang hiatus bisa jadi ajang untuk “ngeblog”

  6. saya tersadar ketika membaca posting diatas, saya mengakui saya adalah salah satu korbannya, saya sangat suka menulis dulu, dan sekitar 6 bulan ini saya mulai agak malas dalam menulis, ternyata penyebabnya sesuai dengan yang anda paparkan di atas, terimakasih untuk menyadarkan saya

  7. “Pemutakhiran status dapat dimanfaatkan untuk menciptakan konten yang lebih kaya. Kearifan khalayak yang disalurkan melalui jawaban terhadap pemutakhiran status dapat diagregasikan menjadi suatu tulisan yang kaya dengan sedikit upaya.”

    Seperti survey kecil-kecilan di Facebook dan Twitter yang menghasilkan konten pada tulisan ini ya, Mas? Menarik dan menginspirasi. Terima kasih.

  8. iya facebook dan twitter bikin ngeblog jadi terlupakan. maret ini saya juga mulian ngeblok lagi. Ngeblog punya keasyikan sendiri, mau posting aja mesti mikir panjang buat nulis, bagus buat otak..hahaha…. beda sama facebook dan tweet yang nggak perlu mikir panjang2..

  9. bulan-bulan pertama kenal microblog dulu (pertengahan 2008) rasanya saya memang agak malas menulis, tapi setelah masuk tahun 2009 semangat menulis di blog seminggu sekali (untungnya) masih bisa dijaga sampai sekarang 🙂

  10. Mungkin penyebab dari semakin banyaknya penggunaan micro-blogging dan pemutakhiran status dan semakin ‘terbengkalainya’ blog tradisional adalah kemudahan aksesnya.
    Micro-blogging (dalam hal ini Twitter) dan pemutakhiran status dapat dilakukan dengan cepat karena akses kepada situsnya sendiri cepat. Apalagi pengguna BlackBerry yang senantiasa daring.
    Micro-bloging dan pemutakhiran status pun lebih ‘mudah’ karena isinya yang lebih pendek dari blog tradisional, dan kondisinya yang memungkinkan penggunanya untuk memakai micro-blog dan situs jejaring sosial saat itu juga.

  11. Saya mencoba menargetkan diri untuk minimal melakukan 8 buah posting blog setiap bulannya. Terlepas dari bermutu atau tidak, itu urusan belakang. Karena begitu lepas dari kebiasaan itu, untuk kembalinya akan susah.

    Bulan Februari kemarin sempat gagal, hanya menulis 5 posting. Namun setiap kali gagal, saya coba kompensasikan kekurangannya di bulan berikutnya.

    Hihi, itu pun sudah termasuk posting berbayar. Jadi, andaikan tak ada posting berbayar, hihi bisa jadi posting blog saya tidak sebanyak sekarang. 😀

  12. Jangan lupa gunakan bahasa Indonesia yang benar dengan baik untuk terus mengasah keterampilan berbahasa Indonesia.

    hahah. haduh, anda mungkin bisa pingsan melihat postingan terbaru saya, banyak kata ajaib yang ga ada di kamus 😀

  13. @rien Mungkin juga. Tapi, sebentar lagi jangan-jangan itu juga nasib mikroblog: Ditinggalkan karena munculnya tren lain.

    @baiquni IMHO, batasan jumlah karakter menjadi faktor pembeda yang sangat besar dari sisi konten. Sulit untuk dianggap sama.

    @thomas Senang bisa “mencolek” orang lain untuk menulis karena kicauan saya.

    @ahmadhanafi Waduh. Om Priyadi mungkin sudah hiatus kronis, hehe.

    @samardi Jadi, pilih yang mana?

    @rizqy Sama-sama. Ditunggu karyanya.

    @japspress Ya, tepat sekali. Survei itu menjadi inspirasi utk membuat tulisan ini.

    @diditho Halah. Sayang otaknya kalau tidak dilatih agak keras.

    @christin Wah, hebat. Semoga bisa menularkan semangatnya ke yang lain!

    @naufal Betul juga. Ada taktik lain yang bisa dilakukan sebenarnya, yaitu menggunakan Posterous: Menulis blog seperti menulis surel.

    @arham Gak ikutan aaahhh…

    @pitra Terima kasih tipsnya. Iya nih, aku juga perlu mendisiplinkan diri untuk menetapkan target jumlah tulisan per bulan.

    @snydez Haha, jadi penasaran kepingin baca.

  14. Saya ngeblog ya untuk menuruti hati.

    Sering saya merasa ada yang perlu saya tuangkan dan terdokumentasikan.

    Itulah sebabnya blog saya lebih dari satu (dan menulis di wadah komunal seperti politikana dan ngerumpi) sehingga saya sendiri pun akhirnya membuat agregator yang pada mulanya untuk melayani saya sendiri.

    Bagaimana kalau sedang malas atau sibuk, sehingga tak sempat meskipun ingat? Ya biar saja. Kalau lagi sempat dan ingat, ya sehari bisa lima posting bahkan lebih, di tempat yang terpisah.

    Dibaca orang? Nggak tahu. 😀

    Yang pasti saya senang jika adablogbaru yang bagus, atau “pemain lama” kembali ngeblog. Mereka itulah yang tutut membangun “konten Indonesia” di internet. 🙂

  15. Saya bikin blog bukan karena trend, tapi karena emang butuh media buat mewadahi coretan saya. Makanya ga begitu terpengaruh dengan komen2 dalam setiap tulisan, yang konon katanya bisa jadi salah satu pemicu blogger males nulis.

    Dan karena itu pula saya juga tak terpengaruh dengan maraknya microblog, meski sosok @wiewae juga eksis disana.

    Dengan begitu blog wiwikwae.com tak mengenal tren sesaat, atau hiatus, bahkan mati suri. Sepanjang masih bisa bayar domain+hosting, sepanjang masih ada blog gratisan, ya saya akan tetap ngeblog 🙂

  16. iya.. tulisan mas ivan membuat kita semua berpikir..
    aku sendiri dulu suka nulis di multiply, pindah buat blog sendiri, kini lebih sering nulis di notes FB…

    But bener juga sih..kalo ada istilah FB mendekatkan yang jauh, n menjauhkan yang dekat..

    tapi bagi memang yang jiwanya penulis..seperti mbak Helvi Tiana Rosa, dkk..tetep eksis nulis baik secara online maupun offline..

    Kalo menurut analisisku sekilas..rekan2 di multiply.com yang masih semangat tuk nulis blog (meski banyak juga yang menjadikan MP sebagai tempat jualan barang..)

  17. Terimakasih, saya jadi terinspirasi untuk coba berpikir mengenai “blog versus mikroblog.” Mungkin kelebihan mikroblog adalah tingkat interaksi yang berbeda dengan blog. Mikroblog membuka jalan cepat untuk ‘conversationalists’, ‘critics’, dan ‘spectators’ (kalau menggunakan kategori teknografi yang anda sebut) untuk bertabrakan dan berinteraksi. Blog, terutama yang isinya panjang-lebar, menuntut daya jelajah dan pengungkapan, selain tuntutan interaksi yang lebih mendalam. Saya jadi bingung sendiri…mungkin saya tulis blog saja, biar bisa lebih menjelaskan maksud saya. 🙂

  18. Saya tidak mau hanya jadi conversationalist atau pasivist. Saya ingin jadi ceator ide2 atau apa pun. Makanya tetap bertahan ngeblog walau pun terngah-engah

  19. Sayangnya, di Indonesia tumblr dan posterous kurang populer. Padahal kedua layanan itu sering disebut-sebut sebagai blog mikro. Tapi karena twitter dan facebook sudah populer duluan, saya menggunakan keduanya sebagai etalase konten saja. Yang asli saya buat di wordpress atau tumblr lalu ditautkan (akun tumblr saya belum terlalu aktif, semoga tidak lama lagi).

  20. setuju dengan @imcw
    saya menggunakan facebook dan twitter hanya untuk mendukung blog utama saya agar mendapat lebih banyak tarffic, itu juga saran orang lain sih..

Tinggalkan komentar