Miting

“Pak, skedul miting dengan klien minggu depan dikensel, ya.” Demikian ujar salah seorang karyawan di kantor saya. Saya paham maksudnya, yaitu jadwal rapat dengan klien minggu depan dibatalkan. KBBI sudah mencantumkan kata skedul (Ing: schedule), klien (Bld: cliënt; Ing: client), dan mengensel (Ing: cancel). Kata miting belum tercantum (meskipun sudah ada kata memiting), mungkin karena para penyusun KBBI masih ragu apakah serapan ini cukup dapat diterima. Saya belum melakukan analisis statistik penggunaan kata, namun tampaknya miting bahkan lebih kerap dipakai daripada rapat. Saya duga kata ini akan masuk dalam KBBI edisi V.

Kata-kata serapan ini hidup dan dipakai dalam masyarakat penutur bahasa Indonesia, terutama kalangan pekerja kantor. Fenomena yang saya anggap menarik adalah penyerapan (dan penggunaan) kata yang sudah memiliki kata dengan makna yang sama persis dalam bahasa Indonesia. Menurut saya ini berlewahan. Pengguna bahasa tampaknya “lupa” bahwa kita sudah punya kata jadwal, rapat, dan membatalkan.

Ah, saya memang pedantis.

16 tanggapan untuk “Miting

  1. Ivan, dalam bahasa percakapan memang kita tidak selalu taat asas menggunakan bahasa Indonesia. Sering kali kita mencampurnya dengan bahasa lain, baik bahasa asing (baca: Inggris, Belanda) atau bahasa daerah. Menurut saya, hal ini masih okelah.

    Tetapi, lain halnya kalau kita menggunakan bahasa Indonesia dalam tulisan “serius.” Saya selalu berusaha, dan masih harus terus membiasakan diri, untuk menulis hanya dalam satu bahasa saja, baik dalam keseluruhan teksnya ataupun istilahnya. Saya akan menggunakan “rapat” alih-alih “miting,” “jadwal” alih-alih “skedul”, dan “batal” alih-alih “kensel”.

    Percaya tidak, saya terkaget-kaget ketika mendengar kata “merit” yang semakin populer untuk padanan kata “menikah” atau “kawin”. Kata “merah muda” atau “merah jambu” juga sudah tertelan oleh kata “pink.” Coba deh tanya Arka. 🙂

    PS. Membaca tulisan Ivan seperti ini mengingatkan saya pada tulisan almarhum Pak Adjat Sakri, mentor yang sangat saya kagumi. Saya rasa almarhum pasti tersenyum gembira dan lega di alam sana karena ternyata ada penerus beliau 🙂

    1. Iya, Nifi. Saya sebenarnya setuju bahwa ada perbedaan antara ragam resmi dan cakapan. Namun, tetap saja saya rewel dan secara otomatis mengoreksi: “rapat, bukan miting”, hehe. Saya perlu mengurangi kepedantisan, nih.

      Terima kasih sudah mengenalkan saya dengan Pak Adjat dan karya-karyanya. Mohon maaf rencana ke Bandung belum bisa diwujudkan.

    2. Saya malah ingin tingkat penggunaan bahasa Indonesia yang “lebih baku” diperluas, jangan dikurung dalam sangkar “dokumen resmi”. Sudah saatnya ragam baku dipakai oleh para intelektual di tempat-tempat seperti jejaring sosial, diskusi lewat surel, dan blog, sehingga lebih banyak kemungkinan akan diteladani oleh para pembaca awam sekalipun.

      1. Saya pribadi sudah tidak terlalu berharap hal itu akan terjadi dalam waktu dekat, Mas. Masyarakat kita sudah terlalu terbiasa beralih kode (code switching), paling tidak antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ilmu linguistik pun sejak dulu sudah mengakui berbagai ragam bahasa. Jadi, memang tidak “haram” menggunakan ragam yang berbeda untuk kondisi yang berbeda.

        Yang bisa kita lakukan, mungkin, adalah membiasakan ragam resmi dalam pembicaraan resmi (rapat, seminar, dll.). Pembicaraan di jejaring sosial saya pikir agak sulit untuk dianggap sebagai pembicaraan resmi.

  2. Aaya setuju, tidak perlu berlewahan atau latah untuk mengganti kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa kata yang sudah ada tidak digunakan dan kita yang membiasakan diri untuk menggunakannya? Mungkin harga dirinya yang perlu ditingkatkan 😦

  3. Selain pink, masih ada oranye dan violet.

    Soal warna, tugas para orang tua untuk dari dini memperkenalkan warna dengan kata asli Bahasa Indonesia, seperti nila, ungu, lembayung, merah jambu, merah delima, hijau daun, biru laut, biru langit, …

    Kalau “merah jambu” dianggap terlalu panjang, kita bisa serap dari bahasa daerah seperti “jambon”

    1. Nah, permasalahannya adalah jika kita setuju untuk memihak kata jambon dari bahasa daerah untuk menjauhi penggunaan pilihan kata pink, itu tidak menyelesaikan permasalahan awalnya. Kedua kata tersebut bukan bahasa Indonesia, melainkan bahasa asing. Dari segi ilmu bahasa mereka seperingkat.

      Jika dipandang dari segi sosiologi, orang daerah dari mana kata jambon berasal tidak mau dikatakan sebagai orang yang berasal dari daerah yang berbeda. Konflik sosial yang berhubungan dengan masalah kepemilikan di dalam negeri pun ada dan nyata. Jadi, pemilihan kata jambon dari bahasa daerah tidak efektif untuk menyelesaikan masalah awalnya.

      1. Ada dua hal yang menurut saya menarik dari utas ini, yaitu pernyataan masalah dan “peringkat” asal serapan.

        Terima kasih sudah mengingatkan saya masalah “pernyataan masalah”. Saya jadi ingat bahwa pernyataan masalah adalah bagian penting dalam penulisan karya ilmiah. Sebenarnya kebiasaan ini bagus juga kalau diterapkan bahkan dalam tulisan blog. Lain kali saya akan coba lebih eksplisit dalam pernyataan masalah.

        Kedua, mengenai peringkat asal serapan. Menurut Pedoman Umum Pembentukan Istilah, bahan istilah Indonesia diambil dari berbagai sumber, terutama dari tiga golongan bahasa yang penting, yakni (1) bahasa Indonesia, termasuk unsur serapannya, dan bahasa Melayu, (2) bahasa Nusantara yang serumpun, termasuk bahasa Jawa Kuno, dan (3) bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab. Secara implisit, pedoman tersebut tampaknya menunjukkan bahwa, jika dibandingkan dengan bahasa asing (seperti bahasa Inggris), bahasa serumpun (termasuk bahasa daerah) lebih diutamakan sebagai sumber serapan bahasa kita.

      2. Balasan untuk balasan dari Mas Ivan:

        Oh, begitu, ya. Berdasarkan tingkat keeratan, kalau begitu, memang kata jambon bisa menjadi pilihan kedua untuk frase merah muda.

  4. Kalau ketiga kata (skedul, klien, dan mengensel) dalam kalimat terkutip “Pak, skedul miting dengan klien minggu depan dikensel, ya.” sudah dicantumkan di dalam KBBI, bukannya tidak perlu lagi penulisannya digarismiringkan, ya?

    Menarik memang fenomena kata-kata serapan. Saya sendiri sedang belajar bahasa Jepang dan banyak sekali penggunaan kata-kata serapan dari bahasa Inggris. Keuntungannya adalah kami jadi lebih mudah mengingatnya karena sudah tidak asing dengan bahasa Inggris. Hehehe.

      1. Oh, begitu. Saya pikir cetak tebal yang memiliki fungsi menegaskan. I see.

        Iya, banyak. Dan, memang pembahasannya menjadi seru di kelas ketika kami harus menebak beberapa kata bahasa Jepang. Bagi teman-teman kelas yang asing dengan fonologi dalam linguistik memang sedikit susah untuk membayangkan penulisan fonetis yang, lalu, sebagai proses selanjutnya, di-romaji-kan.

  5. saya sedang meneliti kategori dasar warna pink dan oranye dalam bahasa indonesia. ada beberapa kriteria dan tes yang harus diujikan. kalau memang kata serapan terbukti lebih banyak digunakan, diingat, dan disimpan oleh masyarakatnya, kemungkinan kosakata bahasa indonesia sendiri akan kalah. saya akan menguji kosakata berikut: jingga, oranye, pink, merah muda, dan merah jambu. pengennya pake korpus teks..tp sayang indonesia blm pny korpus, tp msh ttp mungkin kok 🙂

Tinggalkan komentar