Terapi kejut bahasa

IMG00371-20100327-1036 Pada hari Sabtu, 27 Mar 2010, saya berkesempatan mengikuti acara diskusi mengenai undang-undang bahasa (UU 24/2009) yang dilangsungkan di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta. Diskusi ini digelar oleh Forum Bahasa Media Massa (FBMM) dengan menghadirkan empat orang pembicara, yaitu Dendy Sugono, Hinca Panjaitan, Eko Endarmoko, dan T.D. Asmadi. Suryopratomo, Direktur Pemberitaan Metro TV, yang juga direncanakan sebagai pembicara ternyata tidak dapat hadir. Acara diskusi yang dipandu oleh Rita S. Hastuti ini berlangsung selama kurang lebih 3 jam dalam suasana yang cair dan santai.

Karena datang agak terlambat, saya tidak mengikuti pembahasan dari pembicara pertama, Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa periode 2001–2009). Dalam sesi tanya jawab, ia menyampaikan bahwa RUU awal yang diajukan Pusat Bahasa sebenarnya mencantumkan sanksi terhadap pelanggaran undang-undang ini–sesuatu yang kemudian tidak muncul dalam versi akhirnya. Menurutnya, ada perbedaan antara bahasa baku dan bahasa yang baik dan benar. UU ini mengatur bahasa baku yang hanya satu pada setiap negara dan juga telah diterapkan oleh negara lain seperti Prancis, Quebec, dan Cina. Pengaturan diperlukan agar bahasa dapat teratur dan mudah dipelajari. Di sisi lain, bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang sesuai dengan konteks pembicaraan serta kaidah ejaan dan tata bahasa yang berlaku. Dari penjelasan tersebut, saya masih belum dapat menangkap perbedaan antara bahasa baku dan bahasa yang benar.

Pembicara kedua, Hinca Panjaitan (pengamat hukum), menyampaikan pandangannya dari segi hukum. Inti pendapatnya adalah bahwa bahasa sebagai sesuatu yang dinamis kurang pas untuk diatur dalam sesuatu yang statis: undang-undang. Menurutnya, kalau mau ada aturan tentang bahasa, sebaiknya dimasukkan ke dalam undang-undang dasar saja. Dari perspektif hukum, kelemahan utama undang-undang ini adalah tidak adanya sanksi konkret terhadap pelanggaran. Meskipun demikian, ada beberapa usulan yang menarik dari Hinca, yaitu antara (1) segera buat peraturan pelaksanaan UU, (2) buat lembaga kebahasaan yang selalu sedia untuk menerima pertanyaan dari masyarakat, dan (3) ajukan somasi bagi para pelanggar undang-undang ini sebagai suatu terapi kejut!

Pembicara ketiga, Eko Endarmoko (praktisi bahasa, pengarang Tesaurus Bahasa Indonesia), telah menyiapkan makalah Bangga Berbahasa Indonesia yang dibagikan kepada para peserta bersama dengan salinan tulisannya yang pernah dimuat pada Majalah Tempo edisi 26 Mar 2007, Sengkarut Undang-Undang Bahasa. Dengan singkat ia memaparkan pemikirannya bahwa yang terpenting harus dibangun adalah kebanggaan terhadap bahasa Indonesia; bukan dalam bentuk sauvinisme, melainkan sebagai kebanggaan terhadap jati diri.

Pembicara keempat, T.D. Asmadi (Ketua Umum FBMM), membawakan bahasan Menunggu Titik dari Presiden yang juga dibagikan dalam bentuk cetak kepada para peserta. Menurutnya, ibarat kalimat, undang-undang ini masih pada tanda baca “koma”: perlu tindakan-tindakan lain agar menjadi kalimat sempurna yang diakhiri dengan “titik”, antara lain dengan segeranya dikeluarkannya peraturan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan UU ini. Ia juga memaparkan beberapa masalah atau hal yang terkait dengan bahasa seperti (1) penggunaan istilah asing untuk nama acara, (2) media massa yang masih belum kompak dalam pelafalan dan penulisan, (3) penamaan geografi (toponimi) yang masih karut-marut, serta (4) unsur lokal yang memberi warna bahasa Indonesia.

Saya sempat mengajukan pertanyaan yang sampai sekarang masih sulit saya jawab: mengapa kita harus tetap menggunakan bahasa Indonesia padahal globalisasi menuntut kemampuan berbahasa Inggris? Jawaban sederhana Mas Eko cukup dapat saya terima meskipun mungkin masih belum dapat memuaskan semua orang: bahasa Indonesia adalah kebanggaan dan jati diri bangsa. Jika bangga sebagai bangsa Indonesia, banggalah juga dengan bahasanya. Apa yang harus dibanggakan? Kalau tidak bisa menjawab pertanyaan itu, sederhana saja: Tidak usah bangga.

Satu hal lain yang membuat saya pulang dengan hati senang dari acara ini adalah kesempatan untuk bertemu muka dan berbincang dengan Zulkifli Harahap. Pak Zul adalah salah seorang anggota milis guyub bahasa yang sering memberikan masukan mengenai bahasa Indonesia, baik melalui milis maupun komentar di Blog Bahtera. Pertemuan tersebut juga membuat saya semakin yakin bahwa temu muka tak akan pernah dapat tergantikan oleh temu maya; secanggih apa pun teknologinya.

Pemutakhiran #1: Berkas presentasi T.D. Asmadi dapat diunduh di sini (28 Mar 2010).

Pemutakhiran #2: Blog FBMM telah memuat makalah lengkap T.D. Asmadi dan Eko Endarmoko (7 Apr 2010).

17 tanggapan untuk “Terapi kejut bahasa

  1. Kalo sebagai kebanggaan mungkin terlalu abstrak ya karena jujur saya ya, apa yang mau dibanggakan? Kalo sebagai jati diri bangsa itu saya setuju 😀

    Btw itu terapi kejutnya kira-kira pelaksanaannya gimana ya? hihi

    1. Usul Hinca Panjaitan: layangkan somasi untuk pelanggarnya, hehe. Dia beri contoh sasaran, berdasarkan tayangan salindia Pak Tede, somasi untuk Jasamarga yang salah menulis “disini” dan “di denda” pada pengumuman resmi di jalan tol.

  2. Aha! Belum perlulah UU kebahasaan. Masih ada yang lebih utama daripada itu. Lebih penting ini: makin banyak pihak yang semakin nyaman dan bahagia dengan bahasa Indonesia.

  3. Mas Ivan, resumenya bagus. Mudah dimengerti. Namun Anda masih menggunakan “menurutnya” untuk kutipan tak langsung.. Yang lebih baik adalah “menurut dia”. Makasih. Imam JP

  4. “Satu hal lain yang membuat saya pulang dengan hati senang dari acara ini adalah kesempatan untuk bertemu muka dan berbincang dengan Zulkifli Harahap. … Pertemuan tersebut juga membuat saya semakin yakin bahwa temu muka tak akan pernah dapat tergantikan oleh temu maya; secanggih apa pun teknologinya.”

    Sisi lain manusiawi dan menjadi kebutuhan dasar yang guyub. Meski sering kali kamanusiaan berbahasa mesti mengalah dengan kedigitalan manusia. Fisiknya bersemuka, pancaindranya asyik berdigitalria, hehehe.

    Terima kasih Bung Ivan tulisannya yang informatif.

  5. Terima kasih, Mas Ivan, untuk catatannya. Karena panitia tidak mencatat kecuali mungkin Mba Rita sebagai moderator yang mencatat. Panitia yang biasanya kebagian tugas mencatat dapat tugas mencetak sertifikat peserta diskusi. Insya Allah segera dikirimkan transkrip rekaman diskusinya ke guyub bahasa. Trims.

  6. Terima kasih, Mas, untuk kiriman catatannya. Panitia yang biasanya bertugas mencatat sedang kebagian tugas mencetak sertifikat untuk panitia. Insya Allah segera dikirimkan transkrip rekaman diskusinya ke guyub. Tks.

  7. wah.. menarik juga tuh bahasannya.. terapi kejut memang diperlukan, tapi hati2 jangan sampai dipergunakan oleh oknum dan mafia untuk meraup keuntungan..

    pembelajaran itu perlu, tapi ada berbagai jenis pembelajaran yang dapat dilakukan, ketimbang somasi

  8. Mas Ivan, terimakasih atas laporan pandangan matanya. Saya tergolong orang yang tidak sepakat adanya undang-undang yang mengatur pemakaian bahasa Indonesia. Undang-undang itu justru menjadi “contradictio in terminis” dengan apa yang diperjuangkannya, yakni membangun kebanggaan atas bahasa dan jati diri bangsa. Bukankah mencintai dan bangga yang sejati tidak lahir dari paksaan (baca: undang-undang)? Alasan lain, bahasa itu dinamis. Bahasa tidak sekadar struktur kaku tanpa roh. Saya lebih setuju jika gerakan mencintai bahasa Indonesia dilakukan melalui jalur lain, seperti pendidikan dan sebagainya. Terimakasih.

  9. pertanyaan anda mengapa kita masih harus menggunakan bahasa Indonesia padahal saat ini dunia sudah global, ya,,, logika saya adalah karena Indonesia memiliki jumlah penduduk 5 besar di Dunia, banyak orang yang ingin belajar bahasa kita kok malah kita sendiri yang menganggap bahwa Bahasa Indonesia sudah lapuk, usang,, apa salahnya jika kita bisa Bahasa Indonesia dan English secara bersamaan

  10. ma che colpa e colpa? Ma chi mai ha parlato di colpa?! La parola colpa, con tutte le sensazioni, pensieri, parole etc. viene dalla tua mente e con tutta probabilità ha qualche effetto sui tuoi comportamenti e sui risultati che ottieni.Curioso in ogni caso che quello che ti è venuto in mente è il concetto di colpa.Ribadisco: ci sono più persone con le quali poter andare d'accordo. Bisogna anche desiderarlo.

Tinggalkan komentar