Saksama

Ada dua versi naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: versi tulisan tangan dan versi (ke)tikan. Versi tulisan tangan, yang replikanya dapat dilihat pada gambar, dibuat oleh Soekarno pada dinihari 17 Agustus 1945 di rumah Maeda Tadashi, sedangkan versi ketikannya dibuat oleh Sayuti Melik berdasarkan draf tulisan tangan tersebut. Di antara beberapa perbedaan kedua naskah tersebut, satu hal yang menarik perhatian saya adalah penulisan “saksama” (dalam tulisan tangan Soekarno) dan “seksama” (dalam ketikan Sayuti).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencantumkan adjektiva saksama dengan makna (1) teliti; cermat; (2) tepat benar; jitu. Entri seksama dirujuk (dilambangkan dengan tanda panah →) ke entri saksama. Ini berarti bahwa, menurut KBBI, saksama adalah bentuk baku, sedangkan seksama adalah variasi ejaannya. Menurut Loan-words in Indonesian and Malay (Jones, 2007, hlm. 273), kata ini berasal dari bahasa Sanskerta sukṣma yang kurang lebih bermakna akurat atau hati-hati.

Hasil penelusuran Google menunjukkan bahwa kata seksama lebih banyak dipakai daripada saksama. Tampaknya kita dan Sayuti kurang saksama dalam menggunakan kata saksama.

Sumber gambar: matanews.com

17 tanggapan untuk “Saksama

  1. Apakah karena pengaruh pengucapan bahasa Indonesia yang sulit (meminjam istilah Gombang)? Seperti layaknya praktek vs praktik.

  2. Asiiiik saya nemu blog ini juga akhirnyyaaaa! 😀

    Ijinkan saya untuk belajar di sini dan membaca arsip-arsip yang terdahulu. 🙂

  3. Rakyat ini mungkin terlalu banyak nyinyir sampai gak tau kalo “kepala” juga sebetulnya pintar. 😀
    namun begitu, mengingat bahasa merupakan konvensi, saya pikir lama kelamaan saksama nantinya hanya akan menjadi sejarah bahasa Indonesia saja, karena yang menggunakan sedikit atau bahkan tidak ada. Sukur-sukur kalo pembaca menggunakannya setelah membaca artikel ini.

  4. Wa…..h, mantap jg ya…..dgn mmplajari satu kata saja sdh pst kita akan di perkaya dengan sikap yg lbh baik. suksama/saksama….kitapun pasti akan lbh teliti/brhati2 mengerjakan /melakukan sesuatu, shg dpt mndtgkn kebaikan, baik tuk diri sendiri maupun tuk bangsa…..

  5. Ungkapan “sedangkan versi ketikannya” keliru. Kata dasarnya adalah tik karena meniru bunyi yang dihasilkan si benda atau tindakan yang diacu, seperti bom dan tok. Jika patuh pada kaidah bahasa, apa yang dihasilkan dari kata ini dibentuk dengan akhiran “an” sehingga menghasilkan “tikan.” Jika terdengar ganjil, bisa diubah “sedangkan versi mesin tik.” Setahu saya kita masih memakai salah tik, ditik, dan mengetik. Salah ketik, diketik, dan mesin ketik adalah salah kaprah.

    1. Terima kasih, Mas. Pernah ada masa sewaktu saya memiliki pendirian yang serupa bahwa yang benar adalah “tik” karena merupakan onomatope dari bunyi mesinnya. Namun, seorang rekan di milis penerjemah Bahtera kemudian mengingatkan saya: mengapa kita punya kata “ketuk”? Menurutnya, tidak haram kalau suatu onomatope diberi tambahan suku kata untuk memperlancar bunyi. Saya pikir alasannya masuk akal dan akhirnya saya pun tak konsisten: kadang pakai “tik”, kadang “ketik” 🙂

      1. Agak meluas, tetapi masih berhubungan, ketidakajegan penggunaan kata bersuku tunggal ini terjadi pada bom, cap, tik, dan cat. Orang kaprah membentuk kata “membom,” “mencap,” dan “mencat” (padahal keliru), tetapi merasa benar mengucap kata “mengetik.” Mengapa? Karena mengira bahwa kata dasarnya adalah ketik. Nah. Inilah arti penting keajegan dan kepatuhan, agar orang tahu bagaimana membentuk kata dan dari kata dasar apa.

        Ketidakpatuhan dengan alasan sulit membunyikan dan lain-lain menurut saya bukan alasan yang kuat. Seluruh bunyi susah jika tidak dipelajari. Terlebih jika malas. Setuju tidak?

  6. Tak berdaya saya untuk menyanggah Mas Kurniawan. Setuju. Mari kita himpun etimologi kosakata kita agar kuat alasan menyalahkaprahkan suatu kata. Tentu saja dengan bukti ilmiah yang kuat.

Tinggalkan komentar