Diskusi bahasa LPDS: Singkatan dan akronim

Diskusi-bahasa-LPDS-21-Juli-2010 Pada hari Rabu, 21 Juli 2010, Lembaga Pers Dr. Sutomo (LPDS) telah mengadakan diskusi bahasa Indonesia bertopik “Bahasa Jurnalistik: Menghindari Perkembangan Akronim dan Singkatan” di Gedung Dewan Pers Lt. 3, Jl. Kebonsirih 34, Jakarta. Diskusi ini merupakan bagian dari seri lokakarya media massa yang berlangsung tiga hari (21–23 Juli 2010) dalam rangka menyambut HUT ke-22 LPDS. Tiga narasumber hadir pada acara yang dimoderatori oleh Rita Sri Hastuti tersebut: (1) Anton Moeliono, pakar bahasa Indonesia; (2) Uu Suhardi, redaktur bahasa Tempo; (3) Mauluddin Anwar, Produser Eksekutif Liputan 6 SCTV, mewakili Pemrednya, Don Bosco Salamun. Acara dimulai pada sekitar pukul 14.00 dan dihadiri oleh kurang lebih 60 orang peserta dari kalangan wartawan maupun masyarakat umum pencinta bahasa Indonesia.

Pembicara pertama, Anton Moeliono, memberikan latar belakang kondisi bahasa di Indonesia. Cukup banyak hal yang disampaikan oleh beliau dan agak sulit untuk saya merangkai semua itu menjadi satu paragraf yang padu. Karenanya, berikut butir-butirnya.

  • Bahasa adalah cerminan budaya suatu bangsa dan perubahan bahasa bisa dikatakan mencerminkan perubahan budaya bangsa tersebut.
  • Persentase penduduk Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia masih rendah (sekitar 18%) dan sisanya masih memilih menggunakan, atau memang hanya menguasai, bahasa ibu (bahasa daerah). Sementara itu, tingkat keniraksaraan (illiteracy) di Indonesia juga masih cukup tinggi, yaitu sekitar 13%.
  • Bangsa Indonesia jauh lebih heterogen jika dibandingkan dengan, misalnya, Jepang, sehingga perlakuan terhadap bahasanya pun lebih sulit.
  • Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern membawa berbagai hal konkret maupun abstrak baru yang memerlukan nama dan istilah untuk memerikannya.
  • Penggunaan bahasa, khususnya untuk membuat istilah, harus bernalar dan kemampuan penalaran ini antara lain ditentukan oleh tingkat pendidikan pengguna bahasa.
  • Kosakata bahasa Indonesia secara umum bersuku kata lebih banyak daripada bahasa Inggris sehingga singkatan dan akronim kadang dibutuhkan untuk membuat istilah yang lebih ringkas.
  • Untuk dapat dipahami khalayak, singkatan dan akronim perlu dibakukan agar seragam dan dapat menjadi tolok ukur berdasarkan kesepakatan pihak yang berkepentingan.
  • Wartawan berfungsi sebagai pencerdas bangsa dan dapat menjadi pihak yang berkepentingan dengan pembakuan akronim.

Pembicara kedua, Uu Suhardi, menjabarkan bahwa akronim dibuat antara lain untuk meringkas istilah atau nama, main-main, atau sebagai sandi agar tidak mudah dimengerti orang luar. Menurutnya, akronim marak muncul di media massa antara lain karena penulisnya malas, tidak (berusaha) mengetahui bentuk panjangnya, atau memang untuk membuat tulisan menjadi lebih ringkas. Tempo menganut kebijakan untuk menolak akronim dan, sebaliknya, berusaha membenahi tata bahasa untuk meringkas tulisan. Akronim cenderung membuat bingung, atau bahkan mengecoh atau menipu pembaca, misalnya judul makalahnya sendiri, “Sinonim”, yang merupakan akronim dari “Silakan Menolak Akronim”.

Pembicara terakhir, Mauluddin Anwar, berpendapat bahwa akronim muncul karena budaya ingin serba gampang dan instan. Para petinggi negara pun punya andil dalam munculnya akronim, misalnya presiden pertama kita, Soekarno, yang menciptakan Ganefo, berdikari, dll. Presiden kita saat ini bahkan dikenal dengan singkatan namanya: Pak SBY. Liputan 6 hanya menggunakan akronim yang sudah lazim dan mudah didengar atau diucapkan.

Menurut saya, pembentukan singkatan atau akronim adalah suatu hal yang wajar dan tak terelakkan. Berbagai rujukan linguistik mengakui bahwa pemendekan adalah salah satu jenis proses morfemis yang cukup produktif dalam pembentukan kata. Yang perlu kita lakukan adalah (1) membakukan pola pemendekan yang berterima dalam bahasa Indonesia dan (2) membuat sistem yang memungkinkan berbagai pihak yang berkepentingan untuk menyepakati singkatan atau akronim serta mendokumentasikan (dan mengumumkan) hasil kesepakatan itu agar dapat dipakai sebagai rujukan. Hal yang pertama harus dilakukan oleh lembaga bahasa yang memiliki otoritas (Pusat Bahasa?), sedangkan hal yang kedua sudah mulai dilakukan Kateglo.

Selain tambahan wawasan dari para narasumber, ada hal lain yang membuat hati saya berbunga-bunga sepulang dari acara ini. Akhirnya saya bisa mendapat dua buku klasik tata bahasa Indonesia, yaitu dua jilid Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia karya Sutan Takdir Alisjahbana (1949), dan Tatabahasa Indonesia karya Gorys Keraf (1970). Terima kasih saya ucapkan untuk Pak Zul dari milis Guyub Bahasa yang sudah bersedia berbagi buku-buku langka ini.

6 tanggapan untuk “Diskusi bahasa LPDS: Singkatan dan akronim

  1. Konsorsium WWW (W3C) melalui HTML5 nanti malah hanya mengenal tag abbr (abbreviation) saja untuk mendeskripsikan singkatan dan akronim. Jadi, tag abbr yang dianggap lebih semantik.

  2. Bahasa adalah sarana komunikasi yang mutlak dibutuhkan oleh setiap bangsa yanmg ada di dunia ini. Jadi bahasa mempunyai banyak manfaat antara lain ;
    ■Bahasa adalah cerminan budaya suatu bangsa dan perubahan bahasa bisa dikatakan mencerminkan perubahan budaya bangsa tersebut.
    ■Persentase penduduk Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia masih rendah (sekitar 18%) dan sisanya masih memilih menggunakan, atau memang hanya menguasai, bahasa ibu (bahasa daerah). Sementara itu, tingkat keniraksaraan (illiteracy) di Indonesia juga masih cukup tinggi, yaitu sekitar 13%.
    ■Bangsa Indonesia jauh lebih heterogen jika dibandingkan dengan, misalnya, Jepang, sehingga perlakuan terhadap bahasanya pun lebih sulit.
    ■Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern membawa berbagai hal konkret maupun abstrak baru yang memerlukan nama dan istilah untuk memerikannya.
    ■Penggunaan bahasa, khususnya untuk membuat istilah, harus bernalar dan kemampuan penalaran ini antara lain ditentukan oleh tingkat pendidikan pengguna bahasa.
    ■Kosakata bahasa Indonesia secara umum bersuku kata lebih banyak daripada bahasa Inggris sehingga singkatan dan akronim kadang dibutuhkan untuk membuat istilah yang lebih ringkas.
    ■Untuk dapat dipahami khalayak, singkatan dan akronim perlu dibakukan agar seragam dan dapat menjadi tolok ukur berdasarkan kesepakatan pihak yang berkepentingan.

    Maka bahsa selain komunikasi tentu punya banyak manfaat antara lain;
    1. sebagai alat pemersatu bangsa di seluruh dunia
    2. sebagai alat untuk memberikan dan menyampaikan informasi kepada orang lain
    3. sebagai alat mempelajari suatu alat masalah
    4. Untuk menemukan suatu penemuan bidang disiplin ilmu baru dll.
    Demikian semoga b
    Demikian manfaat dan kegunaan dari bahasa-bahasa yang dimiliki oleh negara-negara di seluruh dunia.
    Demikian semoga bermanfaat untuk para pembaca. Amin YRA.

  3. Akronim atau singkatan sebenarnya tidak perlu ditolak. Itu adalah salah satu proses berbahasa yang kreatif. Saya tidak setuju kalau dikatakan orang menulis akronim karena dia malas. Itu bukan kemalasan, tapi masalah keefektifan berbahasa.

    Coba, sekarang dipertanyakan, mengapa koran-koran lebih suka menulis SBY dibandingkan Susilo Bambang Yudhoyono? Nama itu cukup panjang bukan. Jadi, lebih efektif jika disingkat saja.

  4. United Nations juga sudah terasa tidak efesien maka hanya ditulis UN saja.

    Ketentuan umum dalam penulisan laporan ilmiah dengan menulis kepanjangannya saat penyebutan paling awal artikel yaitu United Nations (UN) dan selanjutnya cukup UN saja tetapi tidak di awal setiap kalimat.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s